Marshanda pernah mengalami keterpurukan dalam hidupnya pada tahun 2009. Saat itu, ia seakan meluapkan amarah yang telah ditimbunnya sejak lama dengan mengunggah beberapa video bernyanyinya di YouTube. Di salah satu video, ia menyanyikan lagu Who Do You Think You Are milik Spice Girls.
"Nih lagu buat siapapun yang nyakitin gue! Siapapun! Lagu ini kayaknya paling cocok buat teman-teman SD gue yang musuhin gue waktu gue SD. Gue enggak punya temen, gue struggle kayak orang gila di sekolah gue sendiri.
Yang jahat-jahat! Adinda Mutiara Sabila Purnomo Sidi. Makan nih! Dan semua temen-temen lo yang ngikutin lo. Gue tau, lo ketua, lo apa. Gila.. Lo paling jago dari kelas 1 sampe kelas 6. Lo rangking 1 terus. Whooooo, mantap selamat yah," kata Marshanda di video tersebut.
Perkataannya ditujukan kepada teman-teman SD nya yang pernah mem-bully-nya karena perceraian kedua orangtuanya, Rianti Sofyan - Irwan Yusuf, saat itu.
Tak hanya itu, rasa depresi yang dirasakan oleh bintang sinetron Bidadari ini berawal dari sifat perfeksionisme yang dimilikinya. Ia selalu melihat ke atas, tak mau cepat puas dan tak bersyukur dengan apa yang diraihnya.
Kondisi yang dialaminya pada tahun 2009, ia ceritakan kepada fansnya, Marshanda the Community (Shanity), di acara Shanity Gathering 2013 akhir pekan lalu.
Berikut ini salah satu dari sejumlah video YouTube Marshanda yang dulu sempat heboh itu:
Berikut penuturannya!
Cobaan Menimpa Marshanda di Tahun 2009
"Aku melihat kegagalan itu kaya ada kerangka pemikirannya yang aku buat sendiri. Di sini aku pernah mengalami kegagalan juga. Teman-teman pasti sudah tahu, tahun 2009 aku sempat meng-upload video di You Tube, dimana disitu menimbulkan banyak pertanyaan, media juga. Hari ini aku ingin cerita apa yang terjadi saat itu.
Aku enggak hanya pengen curhat masalah kesedihannya, kemarahan dan kekecewaan. Aku pengen membagi nilai yang ada dibalik kegagalan. Waktu itu ada yang bilang kalau karir aku enggak akan balik lagi, ada yang bilang kehancuran. Tapi aku melihat itu sebagai suatu ujian.
Kalau kejadian itu enggak pernah terjadi, kita enggak akan bisa melihat diri kita sendiri, sebagaimana Allah melihat kita. Aku percaya, Allah menciptakan manusia ke dunia pasti punya tujuan yang spesial. Allah itu maha penyayang yang luar biasa.
Mungkin saat itu ada yang bilang Caca payah, cari sensai, cari perhatian, Caca orang yang mempermalukan diri sendiri. Aku mencoba melihat itu. Dan dari situ aku belajar mengenal diriku sendiri dan mulai mengenal Allah."
Tak bersyukur
"Saat itu aku sering ditanya, 'Apakah kamu sudah puas dengan karir yang kamu capai?' Lalu aku selalu jawab, 'Enggak. Sebenarnya standar aku lebih tinggi tapi aku masih berada dibawahnya.' Aku selalu bilang gitu.
Aku selalu melihat ke atas, selalu membandingkan diri dengan orang lain yang lebih sukses. Aku harus mendaki gunung terus-menerus.
Contohnya pada tahun 2004 saat aku dapat penghargaan. Pas hari itu, mungkin kalau hari ini aku dapat penghargaan ini aku akan nangis dan ngerasa bangga. Tapi waktu itu, aku cuma, 'Oh Yaudah, jangan senang dulu, jangan puas, biasa aja.'
Aku enggak pernah bersyukur dan kemudian Allah marah. Saat itu bersyukur bagi aku susah banget karena aku terkungkung dengan yang namanya perfesionisme. Aku merasa being perfectionist itu sesuatu yang hebat. Itu yang mendorong aku lebih hebat dan maju.
Dulu aku pengen selalu ideal. Aku pengen keluarga ideal. Aku selalu melihat mama, selalu pengen punya mama yang ada digambaran aku, yang aku inginkan.
Dan kemudian Allah marah dan memberi ujian sebagai bentuk rasa sayangnya."
Proses penyembuhan diri
"Aku mesti heal, menjernihkan diri aku dari keterkungkungan yang aku ciptakan sendiri. Ada beberapa dari pengalaman masa kecil aku dan pengalaman traumatis seperti waktu SD aku pernah di-bully karena perpisahan mama dan papa.
Akhirnya aku ikut konseling. Aku mencoba mengeluarkan luka-luka dalam diri aku. Membuka semua topeng dan plester dalam tubuh aku karena sebelumnya aku mencoba tutup semua luka tersebut pakai plester.
Kadang kalau kita sakit hati, kita sering ingin melupakannya, jangan dirasain. Tapi, ini luka masih sakit, masih borok dan bernanah. Tapi ditutup pakai plester yang tebal biar enggak kelihatan dan diemin aja pura-pura lupa.
Itu yang aku lakuin. Tapi satu, kita bohong sama diri sendiri karena rasa sakitnya masih berasa. Kedua, luka itu makin bernanah dan beleleran dari plesternya. Nah itu yang aku rasakan. Aku pengen konseling dengan cara plester itu aku buka.
Justru dengan melihat ada luka disitu, aku jadi bisa nerima. Pelan-pelan aku bisa lihat luka itu, bersihkan dengan air dan cinta dari orang sekeliling. Lama kelamaan luka itu akan sembuh sendiri.
Kalau ditanya, 'Mau enggak balik ke zaman dulu dan menghapus masa YouTube?' Aku bakal bilang enggak mau. Kalau misal aku balik lagi ke masa itu dan mengulang lagi ya enggak apa-apa. Karena itu harus terjadi. Lebih baik terjadi saat itu saat aku belum menjadi ibu.
Semua orang punya titik balik dalam hidupnya. Masa dimana keluar sesuatu dan meledak dalam hidupnya. Masa itu jadi ujian dari Allah. Kalau itu enggak pernah terjadi, aku enggak akan pernah jadi lebih baik. Aku malah mensyukuri hal itu."